Setelah kuliah, akhirnya aku memutuskan untuk langsung pulang ke flatku yang berlokasi di Hayy ‘Asyir Madinah an-Nar, karena aku ingin sekali cepat-cepat pulang, beristirahat dan juga belajar tentunya. Sekian lama aku menunggu bus delapan puluh coret (Bus ini adalah kendaran yang biasa ditumpangi oleh mahasiswa al-Azhar yang berdomisili di Madinah an-Nasr) akhirnya muncul juga. Namun sayangnya tidak ada tempat duduk yang kosong, semuanya sudah penuh diisi oleh penumpang lain. Seperti biasa aku berdiri sembil memandang-mandang indahnya kota Cairo. Walaupun udara panas menyelekit kulit, tetapi angin yang sepoi-sepoi terasa nikmat sekali di badan ketika angin itu menyentuh pori-pori tubuhku.
Mobil berlaju kencang, bagaikan macan yang mengincar buruannya. Aku melihat para penumpang beragam menjalankan aktivitasnya ketika di bus, ada yang sedang membaca Qur’an, membaca buku, dan bahkan ada pula yang tertidur kelelahan. Di tengah-tengah perjalanan ada dua orang ibu-ibu Mesir yang menaiki bus kami. Aku sempat heran kepada pak supir yang mengendarai bus kami, seharusnya ibu-ibu itu tidak menaiki bus yang sedang ku tumpangi, karena aku menyadari bahwa bus yang aku tumpangi ini sudah penuh sesak kapasitasnya. Tetapi keherananku tertepis karena memang mobil yang menuju Madinah an-Nasr sangat sedikit apalagi ke Hayy ‘Ashir (sebuah distrik dari madinah an-Nasr) sehingga dua ibu-ibu itu terpaksa manaiki bus yang sudah penuh.
Kedua ibu itu menaiki bus dengan terburu-buru, satu ibu yang membawa anak memasuki ke dalam bus, tetapi anehnya ibu yang satu lagi hanya berdiam diri di dekat pintu bagian belakang bus, mungkin sang ibu itu mengira di dalam sudah penuh sesak, padahal ibu yang membawa anak tadi masuk dengan tenangnya.
Sang kondektur mulai menariki ongkos bus, dari bagian depan hingga bagian belakang, aku sangat mengenal dengan sang kondektur ini, aku sering menaiki bus yang sama, sehingga sering sekali bertemu dengan kondektur yang satu ini, aku mengenalnya bukan hanya wajah tetapi karekter dan sifat beliau yang sedikit emosi jika mengatur para penumpang untuk merapat dikarenakan banyaknya penumpang. Memang Cairo adalah kota aktivitas yang padat, sehingga aku melihat jarang sekali bus yang lenggang, tidak penuh sesak, apalagi delapan puluh coret adalah bus kebanggaan mahasiswa indonesia yang sudah pasti diisi mahasiswa bukan dari indonesia saja tetapi seluruh dunia.
“’Adhi ghowa” (masuk ke dalam) begitulah sang kondektur mengatur agar para penumpang merapat, sang kondektur itu mengatur dengan penuh emosi sehingga kadang ada yang menyeletuk “Mafisy makan ya ‘ammuh” (tidak tempat wahai paman). Mungkin seandainya kondektur itu mengatur dengan senyuman, akan beda kondisinya, mungkin para penumpang akan mematuhi arahan-arahan dari kondektur itu, namun sayangnya hal ini tidak dilakukan oleh sang kondektur tersebut.
Ketika sang kondektur mengatur dan menariki ongkos bus di bagian belakang, ia melihat sang ibu itu yang berumur setengah baya berada di dekat pintu, kemudian berkata dengan suara yang keras ke arah ibu itu, “Ya mamah, ‘Adhi Ghowa” (Wahai Ibu, masuklah ke dalam), kemudian ibu itu menjawab dengan suara yang meninggi mencoba mengimbangi suara ari sang kondektur, “La’ah hina bas, fi ghowa mafisy makan” (tidak! disini saja, di dalam tidak ada tempat lagi). Maka dari sinilah timbul perdebatan yang sengit antara sang kondektur dengan ibu yang seperuh baya itu.
Mahasiswa indonesia yang melihatnya tidak heran lagi karena hal ini sudah biasa terjadi, begitupun dengan aku, aku sudah biasa melihat pemandangan seperti ini. Sang ibu dengan kondektur berdebat kurang lebih lima belas menit, menurut ku waktu yang lama untuk berdebat dengan disertai emosi, seluruh penumpang bus memindahkan pandangan ke pusat kerubatan itu. Anehnya lagi tiba-tiba saja bus berhenti dan mulailah sang supir ikut-ikutan, dan akhirnya terjadilah perang mulut yang tidak dapat dihindari.
Akhirnya ada seoarang pemuda mesir yang mencoba melerai perdebatan ini, tadinya sih sang kondektur tidak menghiraukannya, tetapi karena sang pemuda terus berusaha melerainya dan penumpangpun mulai jemu mendengar ocehan-ocehan yang kurang bermanfaat itu, akhirnya bisa dilerai juga.
Inilah sebuah peristiwa yang mungkin jarang terjadi di Indonesia, perdebatan seperti ini sering terjadi di Mesir, tetapi anehnya tidak pernah hingga saling adu jotos, kepada siapapun baik dengan sesama laki-laki apalagi dengan ibu-ibu. Karena memang di Mesir ini mempunyai hukum yang membuat orang tidak berani memukul, di Mesir ini barangsiapa yang memukul duluan maka ia yang bersalah, sehingga perdebatan yang sering terjadi tidak menggunakan kekuatan tetapi hanya berdebat mulut saja.
Mungkin dari sini kita bisa mengambil sebuah pelajaran yang berharga, seandainya sang kondektur itu berkata dengan penuh kesopanan kepada ibu itu, seandainya seoarang ibu tidak membalas perkataan kondektur dengan emosi pula, dan seandainya permasalahan di selesaikan dengan hati yang lapang, mungkin hal ini akan terjadi, maka sungguh benar-benar hebatnya Rasulullah Saw. mencontohkan kepada umatnya agar selalu bersabar di manapun dan pada kondisi apapun. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar