“Halah, udah adzan, mana baru mandi lagi, sedangkan di masjid khutbah akan di mulai”, akhirnya akupun cepat-cepat memakai pakaian shalat yang khusus ku gunakan ketika shalat jum’at, pakaian jalabiyah begitulah orang Mesir menamakan pakaian yang ku kenakan ketika hari jum’at, ketika aku baru pertama kali mendengar namanya, memang sih namanya mirip makanan yang terkanal di Indonesia, kue jalabiyah, kue rakyat yang enak rasanya. Aku juga suka makan kue itu, udah murah terasa lagi nikmatnya. Jalabiyah ini mirip pakaian gamis yang suka dikenakan oleh kiyai-kiyai ataupun para pentolan FPI (Front Pembela Islam). Jalabiyah yang ku kenakan berwarna putih, maklum sekarang kan hari jum’at dan hendak melaksanakan shalat jum’at maka di sunnahkan untuk memakai warna putih-putih dan minyak wangi, jadinya aku memakai warna putih, walaupun aku memiliki jalabiyah berwarna hijau, warna favoritku.
Setelah siap aku langsung pergi ke masjid, yang lokasinya tidak jauh dengan rumahku. “Alhamdulillah” ucapku seketika, ketika masih ada tempat yang kosong, walaupun dibagian belakang, tetapi sudah pasti aku menyesal karena aku terlambat shalat jum’at, yang seharusnya aku datang jam sebelas siang, tetapi aku harus berlapang dada karena hari jum’at adalah hari mencuci pakaian yang banyak sekali, selain itu mandi pun harus mengantri sama teman-teman, maklum kamar mandinya hanya satu, sedangkan aku bersama teman-teman berjumlah tujuh orang, jadi saling menunggu deh, apalagi ada yang mandinya lama, ya jadinya harus bersabar deh.
Sebelum mendengarkan khutbah yang sedang berlangsung, aku harus menjalankan shalat tahiyatul masjid (Shalat sunnah yang dikerjakan ketika kita memasuki masjid), aku menjalankan shalat dengan cepat karena memang shalat sunnah masjid ini ketika dilakukan pada waktu khutbah jum’at harus di takhfif artinya di ringankan, jangan lambat shalatnya, karena jika lambat maka kita akan mengganggu jama’ah lain yang sedang khusu’ mendengarkan khutbah.
Setelah shalat sunnah masjid, aku menedengar khutbah dari sang khatib, aku nampak khusu’ sekali mendengarkan khutbah, bagaimana tidak, sang khatib, berkhutbah dengan semangat sekali, dengan menggunakan bahasa arab yang fushah, lantang dan juga tak lepas dari senyuman yang menghiasi wajahnya. Beliau adalah syeikh baru di masjid di dekat rumahku ini, namanya Muhammad Ali, aku akui, aku belum mengenalnya, tetapi aku cukup salut dengannya, karena beliau punya ilmu yang begitu luas, dan disertai dengan penyampaian yang begitu mengagumkan, aku pun sampai terbawa dengan khutbahnya yang menarik itu. Ar Rahman adalah namanya, masjid yang dekat dengan rumahnya ku itu dulunya ada syeikh Umar, beliau baik sekali, tetapi sayang ketika berkhutbah kurang menggunakan senyuman, jadinya jika beliau berkhutbah, kadang aku mengantuk, mungkin karena khutbah beliau terlalu lama, sampai empat puluh lima menit lebih.
Khutbah yang sedang ku dengarkan itu berisi tentang ukhuwah islamiyah, beliau menggambarkan ukhuwah islamiyah itu bagaikan tubuh manusia, ada kepala, ada tangan, ada kaki, dan ada badan. Jadi ketika tangan kita sakit, maka semua tubuh kita akan terasa sakit, ketika kaki kita sakit maka seluruh tubuh kita pun akan sakit pula, maka ketika saat itulah kita akan berusaha mengobatinya dengan berbagai cara, begitu pun dengan ulhuwah islamiyah, ketika palestina di sakiti, maka seluruh umat islam seharusnya sakit pula, karena mereka adalah saudara kita, sesama Muslim. Ketika Rasulillah dihina maka seluruh umat Islam tersakiti, itulah seharusnya yang kita lakukan, mengobatinya dengan berbagai cara, dengan jalur diplomatis ataupun berperang jika itu diperlukan. Begitulah syeikh menjelaskan panjang lebar.
Aku menyadari kapasitasku bukan untuk internasional, yang sudah mengusung konsep perdamaian antara umat beragama, karena aku tidak mempunyai kedudukan apa-apa, tetapi aku menyadari hubungan sesama temanku saja masih acak-acakan, lebih banyak menyakiti dari pada membuat ia bahagia, lebih banyak dikasih dari pada memberi, lebih sombong dari pada perhatian, nah inilah yang harus aku ubah setelah mendengar paparan penjelasan dari khatib tadi.
Mari kita sama-sama untuk merubah diri kita dalam berhubungan hablu minannas (hubungan sesama manusia), merubah dalam artian membuang perkara-perkara yang buruk, dan mempertahankan perkara-perkara yang baik, bahkan bisa kita tingkatkan lagi, demi tercapai hubungan yang harmonis antara umat Islam dikalangan sekitar kita, jadi pikirkanlah saudara yang terdekat kita dulu, setelah itu memikirkan saudara kita yang nan jauh di sana. Hati ini hanya mengatakan “Syukron awi ya syaikhina al-kirom”(Terima kasih banyak wahai syeikh kami yang mulia). Wallahu ‘alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar