Ku awali pagi ini dengan sebuah senyuman yang riang di bibirku. Sebuah senyum yang sangat ku nikmati keindahannya. Ditemani udara kota Kairo yang dingin, aku menyelami kehangatan ayat-ayat suci al-Qur’an dari speaker komputerku yang menyuarakan lantunan indah Syeikh Mishary bin Rashid al-Efasy, yang hingga kini ku kagumi keindahan suaranya.
Tiba-tiba handphone K770i ku berbunyi sambil menari-nari akibat getaran yang aku setting bersamaan dengan ringtone. Sebuah nomor sedang menghubungiku. Aku tak mengenal nomor itu. Ketika ku terima telpon itu, suara keras langsung menusuk ke gendang telingaku “Assalamu’alak, Ma’a Idi Nursiha?” (Assalamualaikum, ini Adi Nurseha?), dengan respon ku menjawab “Aiwa, Ma’a Idi Nursiha, min ma’aya?” (Iya betul, ini Adi Nurseha, ini siapa yah?). Ternyata yang menghubungiku adalah tukang pos.
Memang sudah hampir 7 hari ini aku menunggu kedatangan tukang pos ke rumahku untuk membawakan sebuah paket yang dikirim oleh keluargaku tercinta (terimakasih untuk Mamah dan Ade Eka) yang berada di belahan bumi bagian timur sana . Aku bersyukur sekali karena pengharapanku hampir saja terwujud karena tukang pos akan datang ke rumahku mengantarkan paket yang berisi obat batu ginjal dan sepucuk surat dari keluargaku tercinta.
Penyakit batu ginjal yang ku idap sekarang ini sudah hampir berusia sepertiga tahun. Oleh karena itu, hari-hariku semakin bermakna dan penuh kesyukuran kepada Allah SWT. Karena dengan penyakit ini aku dapat mengetahui bagaimana indahnya nikmat sehat, dan dengan penyakit ini pula aku dapat mengingat kematian. Semua makhluk hidup akan mengalami kematian. Kematian adalah sesuatu yang mesti terjadi, dan sesuatu yang akan terjadi adalah sangat dekat sekali adanya.
Pukul 11:00 tepat tukang pos memencet bel flatku. Aku segera beranjak dari tempatku untuk menyambut kedatangan sebuah paket yang sangat ku nantikan itu. Ketika ku buka pintu depan rumahku, seonggok manusia yang tinggi dengan pakaian ciri khas orang Mesir menyodorkanku sepucuk surat . Aku tercenung karena tukang pos hanya membawa sepucuk surat untukku. Ia tidak membawa sebuah paket yang istimewa itu. Aku bertanya tentang keberadaan sebuah paket yang ku dambakan ada ditanganku saat itu, namun tukang pos menjawab dengan santainya, bahwa paket itu bisa diambil di kantor pos daerah Attaba’. Ternyata surat yang diberikan kepadaku itu berisi tentang panggilan kepadaku untuk mengambil paket di sebuah tempat, tetapi di surat itu tidak tertulis jelas bahwa aku harus mengambilnya di kantor pos daerah ‘Attaba. Kekecewaan sedikit muncul dalam benakku, namun ku berusaha menghapus dalam-dalam rasa kecewa itu dengan sebuah senyuman. Aku yakin ini adalah sebuah perjuanganku agar penyakitku segera diangkat oleh Allah melalui obat itu dan dapat beraktivitas dengan normal apa adanya. Juga sebuah pengorbanan bagiku demi sebuah surat yang sungguh istimewa bagi masa depanku.
Akhirnya aku termenung sejenak sambil melihat isi surat pemberian tukang pos itu, dan mulai memikirkan rencana untuk mengambil paket tersebut karena sejujurnya aku belum paham betul dengan tempat yang diberitahukan oleh tukang pos. Tiba-tiba saja sebuah pikiran terlintas untuk bertanya kepada temanku, mungkin saja temanku ada yang mengetahui. Tepat sekali, ternyata mas Hasan (lengkapnya Hasan Basri) mengerti, bahkan beliau mengetahui dimana letak kantor pos Attaba’. Sore harinya, kami pun berangkat menuju kantor pos di daerah Attaba’, “Semoga aku dapat mengambil paketnya hari ini” celetuk harapanku dalam hati. Sebenarnya aku harus mengambil paket tersebut hari ini karena aku sangat butuh sekali dengan obat itu. Persediaan obat milikku sebentar lagi habis.
Hampir satu jam aku di terminal untuk menunggu angkutan umum yang menuju ke Attaba’, namun tak satu pun ku temukan angkutan umum ke daerah Attaba’. Akhirnya aku dan mas Hasan memutuskan untuk pergi ke terminal Sabie’. Katanya disana banyak sekali angkutan umum yang menuju daerah Attaba’. Tak lama kemudian aku dan Mas Hasan langsung menaiki el-tramco untuk menuju terminal Sabie’. Sesampainya di terminal Sabie’, aku melihat ada angkutan umum yang menuju ke daerah Attaba’. Saat aku menaiki mobil itu, tiba-tiba sang supir menyapaku “Enta ruh fien?” (Kamu hendak pergi ke mana?), aku menjawab saja sekenanya “Ana ruh ila attaba’” (Saya hendak pergi ke Attaba’). Menanggapi jawabanku, sang supir langsung menggelengkan kepala sambil berkata “la’ah” (tidak ke sana ), komentarnya singkat. Akhirnya aku tertunduk lemas, ternyata mobil yang ku tumpangi itu tidak pergi sampai ke Attaba’, tetapi sebelum Attaba’, padahal aku melihat sendiri tulisan “Attaba’” di atas kaca mobil itu. Akhirnya aku bersabar menunggu angkutan yang lainnya. Setengah jam kemudian aku melihat angkutan umum yang menuju Attaba’, “Semoga angkutan kali ini benar-benar ke Attaba’”. Ketika mobil itu berhenti di terminal, aku dan mas Hasan langsung bertanya kepada supir angkutan umum itu. Ternyata jawaban sang supir kali ini pun membuat hatiku harus kembali bersabar karena angkutan umum yang sekarang berada di depanku ini tidak mengangkut penumpang lagi. Aku dan mas Hasan pun menunggu angkutan umum untuk ketiga kalinya. Di saat senja mulai memasuki kota Kairo, badan ini sudah letih menanti angkutan umum yang tak kunjung datang. Akhirnya kami memutuskan untuk meneruskan perjuangan ini keesokan harinya, namun tiba-tiba saja angkutan umum yang menuju Attaba’ datang. Wajah yang sumringah terlihat di wajah kami berdua, dan sebuah pengharapan pun mengalun menusuk pikiran “Semoga angkutan umum kali ini benar-benar ke Attaba’”. Sejurus kemudian mas Hasan pun bertanya kepada sang supir angkutan umum itu, dan jawabannya membuat hati kami bahagia. Mobil itu akan menuju Attaba’. Keluh dan kesah hilang ketika supir menerima kami sebagai penumpangnya. Aku merasakan kenikmatan atas kesabaran kami hari ini, “hamdulillah” puji syukurku.
Akhirnya kami sampai juga di terminal Attaba’. Satu jam sudah berlalu perjalanan kami dari terminal Sabie’ hingga terminal Attaba’. Tanpa basa basi kami pun turun dari angkutan umum dan langsung pergi ke tempat tujuan, yaitu kantor pos daerah Attaba’. Sesampainya di kantor pos, kami bertanya perihal kedatangan surat itu kepada petugas kantor pos, dan jawaban tak ku sangka-sangka keluar dari bibir pengurus kantor pos “Lazim ruh ila mathor qodhimah” (wajib pergi ke bandara Kairo). Sebuah jawaban yang tak ku harapkan, namun aku harus sabar dan tabah demi pengambilan paket itu. Aku pun segera merencanakan untuk pergi ke bandara Kairo besok pagi. Akhirnya kami pun pulang tanpa membawa sesuatu kecuali info pengambilan paket di bandara Kairo. Sebuah kisah yang membuat ku belajar banyak tentang kehidupan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar